Berhitung cepat bagi siswa, seberapa penting sih?. Berikut adalah sebuah tulisan hasil diskusi ringan dalam sebuah keluarga, sekaligus sharing.

“Seberapa Penting sih, Kemampuan Berhitung Cepat bagi Siswa?”

Oleh: Fajri Umami

Beberapa bulan lalu, saya browsing informasi mengenai beberapa sekolah dasar yang ada di sekitar tempat tinggal. Di situs resmi masing-masing sekolah, terdapat paparan visi-misi dan program unggulan yang mereka miliki. Malam itu, kami khusus membahas satu poin saja. Bukan hal yang fundamental (sebagai bahan pertimbangan memilih sekolah), sih. Hanya saja, ini menarik untuk dibahas di meja makan.

Jadi, ada satu sekolah yang memasukkan program berhitung cepat dengan metode tertentu sebagai salah satu program unggulan sekolahnya. Mereka menamainya program Fun Math. Poin menariknya adalah “berhitung cepat” sebagai salah satu “program unggulan” sekolah.

Hayo…, siapa di sini yang ngga merasa amazed melihat bocah 4 tahun bisa menghitung deretan panjang angka yang dikali-bagi-tambah-kurang hanya dalam waktu beberapa detik saja? (Kita tidak lagi bahas pro kontra calistung di usia dini, ya..) Dulu, saya pernah lihat anak 8 tahun diundang untuk tampil di acara Hitam Putih TransTV karena kemampuannya berhitung cepat, dan dijuluki “Bocah Kalkulator”. Saya juga temukan banyak iklan bimbingan belajar (les) berhitung cepat dengan berbagai metode, di antaranya metode Jari Aljabar, Sempoa, dan Jarimatika. Kelasnya bahkan ada yang dibuka untuk anak mulai dari usia 3 tahun (tentu level materinya disesuaikan dengan usia anak). Para orang tua kelihatan antusias memasukkan anak-anak mereka ke bimbel tersebut. Artinya, banyak orang tua yang merasa butuh dan perlu mengajarkan anak-anak mereka untuk berhitung cepat. Bahkan, di sekolah yang saya sebut tadi, pihak sekolah memasukkan metode berhitung cepat sebagai program unggulan mereka.

Nah, komentar pertama Ayah Ibrahim* malam itu: 

“Seberapa penting, sih, kemampuan berhitung-cepat bagi siswa?” 

Spontan, saya jawab:

  1. Penting buat lomba cerdas cermat.
  2. Penting buat menghemat waktu saat ujian.
  3. Buat yang lemah dalam pemahaman bermatematika, itu bisa jadi shortcut biar tetap bisa jawab soal ujian dan mencapai nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).

Walaupun dengan nada bercanda, bukan tanpa alasan saya menjawab 3 poin di atas.

Poin pertama: lomba cerdas cermat. Waktu masih MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri, setara SMP), saya dan Ayah Ibrahim pernah ikut lomba cerdas cermat antarkelas. Kami satu tim. Dalam soal matematika, walaupun saat itu Ayah Ibrahim juara 1 lomba matematika tingkat propinsi, tapi tidak cukup membantu tim kami dalam menjawab soal-soal tersebut. Saya lebih unggul dalam hal kecepatan (Ayah Ibrahim lebih unggul dalam pemahaman konsep, sementara saya bukan apa-apa dalam hal itu). Sekarang pun, kalau kami tanding hitung total belanjaan, saya selalu lebih dulu dibanding Ayah Ibrahim.

Poin kedua: menghemat waktu saat ujian. Dalam soal ujian matematika sekolah, tingkat kesulitan tiap kelompok soal itu berbeda. Ada soal yang bisa dijawab kurang dari 5 detik, ada juga yang butuh waktu bermenit-menit, sementara ujian itu berbatas waktu. Untuk menyiasati keterbatasan waktu, tentu kita harus pandai mengalokasikan waktu agar bisa menjawab semua pertanyaan dengan benar. Jika kita memiliki kemampuan berhitung cepat, kita bisa menghemat waktu dalam berhitung, lalu melebihkan waktu untuk memahami soal dan melakukan pengecekan ulang terhadap jawaban yang sudah ditulis.

Saat masih tinggal di kontrakan, saya pernah mengadakan permainan Siapa-Cepat dengan mengajukan beberapa pertanyaan hitungan sederhana untuk siswa kelas 3-6 SD. Whiteboard dan spidol saya sediakan agar mereka bisa menyelesaikan soal, dan saya pun bisa memperhatikan solusi yang mereka uraikan. Ada satu poin yang saya noticed, yaitu kecepatan berhitung. Untuk kelas 6 SD sekalipun, perkalian 1-10 masih dihitung manual pakai jari (bukan metode hitung cepat ataupun hafalan). Hal ini tampak menjadi masalah karena untuk menyelesaikan 1 soal saja mereka membutuhkan waktu yang cukup lama. Saya khawatir jika mereka akan kesulitan dalam menuntaskan ujian sekolah karena hambatan tersebut. 

Poin ketiga: shortcut buat yang susah memahami konsep. Ini saya simpulkan dari bimbingan belajar (bimbel) persiapan ujian masuk perguruan tinggi dulu. Di sana, banyak shortcut yang mereka ajarkan tanpa menjelaskan kenapa shortcut itu bisa digunakan, ataupun syarat-ketentuan penggunaannya (ternyata, shorcut tersebut tidak bisa digunakan di segala situasi, meskipun most of the time bisa). Apa tujuannya? Membantu siswa menjawab soal ujian dengan benar sehingga bisa lulus ujian, dengan waktu persiapan yang singkat.

Saya pikir, ini sama prinsipnya dengan metode berhitung-cepat tersebut. Anak diajarkan shortcut sehingga mampu menjawab soal ujian dengan cepat dan tepat, terlepas dari kemampuan anak memahami konsep. Maksudnya, bagi anak yang memang sudah paham konsep, metode itu memang membuatnya berhitung lebih cepat dan mampu menjelaskan jawabannya dengan baik (jika diminta). Namun, bagi anak yang tidak paham konsep (misal, untuk soal 9×6), dia masih bisa mampu menjawab soal (jawaban = 54), tetapi tidak mampu menjelaskan kenapa jawabannya bisa demikian. Jika tergetnya sebatas “bisa” menjawab soal ujian dan memenuhi KKM, tentu masih bisa dicapai.

Nah, adanya metode berhitung-cepat di sekolah, saya pikir untuk menjawab kekhawatiran para orang tua (sekaligus kekhawatiran pihak sekolah sendiri?) terhadap kemampuan bermatematika anak di sekolah (parameter = nilai rapor). Apalagi, dari dulu, banyak yang beranggapan bahwa matematika itu sulit. Saking sulitnya, membuat orang tua menjadi latah untuk memasukkan anak mereka ke bimbel berhitung cepat agar nilai sekolah si anak meningkat. Sekarang, tanpa harus les, di sekolah pun sudah ada (promosi sekolah).

Menanggapi fenomena orang tua yang tergiur mengajarkan anaknya berhitung-cepat demi meningkatkan kemampuan matematika anak di sekolah, saya punya pendapat sendiri.

  1. Matematika di sekolah bukan sebatas berhitung. Jadi, berhitung-cepat mungkin akan membantu di bab-bab tertentu, tetapi tidak akan menuntaskan semua masalah bermatematika anak.
  2. Nilai evaluasi (nilai ulangan, nilai rapor) tidak menggambarkan letak masalah anak. Jika kita tidak tahu letak masalah anak, bagaimana kita bisa membantu untuk memperbaikinya? Jadi, cari tahu dahulu letak permasalahan atau kelemahan si anak.

 

*Ayah Ibrahim adalah dosen matematika di satu Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Bandung.