Membandingkan anak tak jarang kita dengar, baik dibandingkan dengan teman sebayanya maupun orang tuanya sendiri seolah pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” dibenarkan. Berikut diskusi ringan sekaligus sharing tentang kenapa anak sering menjadi bahan perbandingannya dengan orang tuanya.

Ini Ibrahim, Bukan Ayah

Oleh: Fajri Umami

Dari dulu, Ibrahim suka menonton video lawasnya sendiri. Entah karena tertarik dengan moment, suasana, orang-orang, dan lingkungan yang ada di dalam video. Entah karena merasa diri kecilnya lucu. Entah karena merasa aksinya seru untuk diingat dan dicoba kembali. Entah karena penasaran dengan diri kecilnya, seperti saat dia bertanya, “Kenapa Ibrahim dulu bilang ‘jeja-jeja’, Bunda? Apa artinya? Dulu Ibrahim belum bisa bilang ‘bola’, kan, Bunda? Cuma bisa ‘bu-wa’? Kenapa begitu, Bunda?”

Belakangan, saya dan Ibrahim rajin bernostalgia, hingga sampailah di beberapa moment saat Ibrahim masih berusia 2 tahunan. 

“Sye-ma-ngat, Ayah! Sye-ma-ngat, Ayah! Ini bukan Ayah..,”

ujar Ibrahim di sela-sela aktivitas bermain pasir di halaman rumah Nenek. 

“Sye-ma-ngat, Ayah! Sye-ma-ngat, Ayah! Ini Ibrahim, bukan Ayah..,”

ujar Ibrahim di sela kesibukannya gowes sepeda rota tiga mengelilingi kompleks rumah Nenek. 

Menyaksikan itu, spontan Ibrahim-saat-ini bertanya, “Kenapa Ibrahim bilang ‘Ini bukan Ayah’, Bunda?” Saya sendiri sebenarnya tidak lebih tahu daripada yang bertanya. Seingat saya, saat itu saya memintanya untuk menyemangati Ayah yang sedang memasuki injury time penulisan disertasi. Saya bermaksud merekam video Ibrahim untuk dikirimkan ke Ayah yang sedang di Italia (kami LDM*, judulnya). Jadi, bukan video call. Saat recording, sepertinya Ibrahim-kecil agak bingung karena dia diminta untuk menyemangati sang Ayah, sementara Ayah tak tampak di layar. Justru wajahnya lah yang memenuhi layar. Makanya, dia bilang “Ini Ibrahim, bukan Ayah”. 

Kali ini, ada yang terasa berbeda saat mendengar kembali kalimat tersebut. Seolah reminder bagi saya untuk tak menyamakan ataupun membandingkannya dengan Ayah (atau siapapun). Karena memang Ibrahim itu, ya, Ibrahim. Ayah itu, ya, Ayah. Anak lain, ya, anak lain. Jelas-jelas berbeda. 

Bagaimana tidak berbeda. Orang tuanya saja beda. Gen yang diwariskan juga berbeda. Pola asuh berbeda. Lingkungan juga berbeda. Jangankan untuk membandingkan 2 anak yang berbeda orang tuanya. Dalam satu rumah tangga saja (orang tuanya sama, jadi asumsikanlah pola asuh dan lingkungannya sama), sifat, sikap, karakter, interest, potensi, pencapaian, dan prestasi antara anak yang satu dengan yang lainnya saja bisa berbeda 180 derajat. Bahkan, kembar identik sekalipun belum tentu identik dalam segala hal. Jadi, bagaimana mungkin kita akan membandingkan anak satu dengan lainnya, kan?

Makes sense, sih. Namun, realitanya kan tidak begitu. Tetap saja anak sering dibanding-bandingkan, terutama dengan orang tuanya. Kenapa?

Kebiasaan

Membandingkan itu hal yang natural bagi semua orang. Coba ingat-ingat lagi, bagaimana awalnya kita memahami makna kata “besar”, “terang”, dan “panas”? Kita harus dihadapkan pada 2 kondisi yang berbeda dan bertolak belakang agar paham maknanya. Kita bisa menyebut sebuah benda itu “besar” setelah membandingkannya dengan benda lain yang berukuran lebih kecil. Kita menyebut siang itu “terang” setelah mengenal malam yang gelap. Kita bisa tahu api itu bersifat panas setelah membandingkannya dengan suhu material lain yang lebih rendah/dingin. Intinya, sedari dini pun kita semua sudah melakukan perbandingan. Natural. Inilah yang kemudian terbawa-bawa ke dalam keseharian dan interaksi sosial, lalu menjadi kebiasaan dan “dianggap” lazim.

Jika ditanya alasan, niat, dan tujuannya, mungkin jawabannya akan beragam. Kadang, orang membandingkan-bandingkan itu sebatas untuk memberi gambaran “Oh, di sini lho, letak perbedaan antara kamu dan dia.” Ada juga yang melakukannya dengan niat untuk memotivasi dan mengajukan contoh teladan, “Coba contoh si Adi. Dia itu bla-bla-bla….”. Ada juga yang bermaksud pamer, sombong, dan merendahkankan orang lain seperti, “Anakku sudah lancar calistung. Padahal, masih 5 tahun, lho. Anakmu kan sudah kelas 1 SD. Kok ‘mbacanya masih terbata-batas, sih?”. Dan tujuan lainnya (silakan tambahkan sendiri).

Anak-anak sering dibanding-bandingkan dengan orang tuanya, mungkin karena adanya harapan agar si anak dapat mewarisi segala sifat dan potensi (yang “dianggap” unggul) yang dimiliki orang tua. Bukankah ada pepatah yang berbunyi “buah jatuh tak jauh dari pohonnya?” Jika orang tua baik, anak haruslah baik. Jika orang tua tidak baik, anaknya juga tak baik, itu dinilai wajar (?).

Ada juga ungkapan yang sering saya dengar, “Anak haruslah lebih baik daripada orang tuanya. Minimal, sama. Jangan sampai kurang.” Itu mungkin harapan semua orang tua, termasuk kami. Poin yang membedakan adalah definisi dan parameter “baik” yang digunakan masing-masing orang tua. Baik menurut orang tua lain, belum tentu baik menurut kami. Sebaliknya, baik menurut kami, belum tentu diamini orang tua lain. 

Bertolak dari harapan baik orang tua tadi, saat anak didapati tidak “sebaik” dan “seunggul” orang tuanya, tentu menjadi pertanyaan, baik dari si orang tua sendiri ataupun dari lingkungan (masyarakat). Ada semacam kekhawatiran, kalau-kalau pola asuh yang diberikan keliru sehingga potensi baik si anak tidak berkembang. Di sinilah komentar-komentar yang bernada membanding-bandingkan itu bermunculan.

*LDM = Long Distance Marriage atau commuter marriage = pasangan menikah yang tinggal terpisah dalam waktu yang panjang.