Membandingkan anak tak jarang kita dengar, baik dibandingkan dengan teman sebayanya maupun orang tuanya sendiri seolah pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” dibenarkan. Berikut diskusi ringan lanjutan sekaligus sharing tentang apakah boleh membandingkan anak dengan niat yang baik?.

Ini Ibrahim, Bukan Ayah!

Oleh: Fajri Umami

Apakah itu berarti sah-sah saja membanding-bandingkan anak selama niatnya baik?

Tidak begitu juga. Apapun niatnya, sebaik apapun tujuannya, tetap saja membanding-bandingkan anak itu tidak boleh dilakukan. Kalau memang niat dan tujuannya baik, seyogyanya ekskusi juga dengan cara yang baik, efektif, dan mudah diterima–niat baik yang dieksekusi dengan cara tak bijak bisa berefek negatif, lho.

Selain itu, hal yang kita pikir dan nilai baik/unggul, belum tentu benar-benar baik bagi si anak. Artinya, parameter penilaian yang kita gunakan belum tentu benar. Membandingkan diri dengan anak sendiri saja bukanlah hal yang bijak. Apalagi membandingkan anak lain dengan orang tuanya. Apalagi sampai melabeli anak orang lain begini-begitu.

Idealnya, sih, begitu (tak perlu membanding-bandingkan). Realitanya, lazim dijumpai. Saya dan Ibrahim pun tak luput jadi objek perbandingan oleh masyarakat, dengan orang tua masing-masing sebagai baku pembandingnya.

Contohnya begini: ayah saya seorang da’i yang mampu berbicara di depan umum dengan baik. Di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an), guru mengikutsertakan saya dalam lomba mubaligh cilik (da’i cilik). Saat lomba, si presenter acara menyinggung status saya sebagai anak da’i dengan menyelipkan komentar yang kurang lebih intinya begini, “Pasti dia ngga kalah sama orang tuanya”. Padahal, saya paling tidak suka bicara di depan umum (ikut lomba pun karena terpaksa). Kalau bisa menghilangkan diri, saya akan menghilang seketika. Gugup jika sudah di depan orang banyak karena takut membuat kesalahan, takut mempermalukan diri sendiri, dan merasa bodoh dengan kesalahan kecil sekalipun. Public speaking is not my thing. Beda sekali dengan orang tua saya, kan? Akan tetapi, tetap saja orang yang belum mengenal kami beranggapan bahwa saya “pasti” bisa seperti ayah. (Dan mungkin mereka akan merasa “zonk” setelah tahu kami berbeda 180 derajat

Contoh lainnya: (1) Di sebuah pertemuan keluarga besar, Zidan (sebut saja demikian) dijuluki “Ayah-Kecil” karena kemiripan wajah keduanya. Bukan cuma rupa, ekspresi keduanya pun mirip. Dari segi kemampuan kognitif, Zidan yang masih 3 tahun jauh lebih unggul daripada Ayah saat masih seusianya. Bagaimana komentar keluarga? “Ayahnya kan pintar, makanya anaknya juga pintar” (bukannya memuji kemampuan yang dimiliki anak secara objektif, tetapi malah mengaitkan dan membandingkannya dengan sang Ayah. Seolah semua itu adalah warisan genetik Ayah “semata”). (2) Saat perkembangan motorik kasarnya tidak secepat Ayah, dikomentari begini, “Kok 11 bulan masih belum bisa jalan? Ayah udah bisa jalan umur segini, lho” (Ayah sebagai standard untuk milestone Ibrahim, bukannya KPSP IDAI ataupun Denver II**. Harusnya milestone Zidan setara atau lebih baik daripada Ayah. Jika kurang, artinya ada masalah–begitu kurang lebih pesan implisitnya). (3) Saat Zidan-3-tahun tantrum maksimal (hingga memukul Ayah) di sela rangkaian panjang kegiatan keluarga besar yang membuat rutinitas makan-makan-tidurnya berantakan, si ibu pun dikomentari, “Kok Zidan gitu, ya? Ayahnya ngga pernah begitu dari kecil, lho. Ayahnya ‘sa-ulah’ (elok laku, bersikap manis, gampang di-handle)”–bukannya fokus untuk memahami, menggali alasan dibalik sikap anak dan mencari solusi, tetapi malah menjadikan Ayah sebagai standar pembanding bagaimana si anak harusnya bersikap, dalam segala hal–sifat, sikap, dan pencapaian.

Sebaik-baiknya niat dari yang berkomentar, ada cara yang jauuuh lebih bijak, enak didengar, enak diterima, efektif, dan konstruktif daripada membanding-bandingkan seperti contoh di atas.

(Jika masih belum paham urgensi untuk berhenti membanding-bandingkan, jalan-jalanlah ke grup-grup bertema mental health, seperti MotherHope Indonesia. Silakan Googling)

foto: freepik