Membandingkan anak tak jarang kita dengar, baik dibandingkan dengan teman sebayanya maupun orang tuanya sendiri seolah pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” dibenarkan. Berikut diskusi ringan lanjutan sekaligus sharing tentang bagaimana dampak dari membandingkan anak sekaligus sikap jika anak kita dibanding-bandingkan orang.
Ini Ibrahim, Bukan Ayah!
Oleh: Fajri Umami
Lalu, apa dampak bagi si anak jika sering dibanding-bandingkan?
Buat saya pribadi, dibandingkan itu berarti nilai diri saya tergantung pada baku pembanding yang digunakan (misal: jika saya dibandingkan dengan ayah, maka ayah disebut baku pembanding). Jika nilai diri saya setara atau lebih, maka saya diterima baik. Jika nilai saya kurang, berarti saya mengecewakan dan ditolak. Inilah yang terjadi pada individu dengan self esteem yang rendah.
Apa itu artinya boleh membandingkan orang yang memiliki self esteem tinggi? Tetap saja yang namanya membanding-bandingkan orang itu tidak etis. Jika anak terbiasa dibanding-bandingkan sedari dini, tanpa disadari, self esteem-nya mulai turun. Apa-apa harus lihat yang orang lain dulu. Hal itu membuatnya menjadi kurang atau tidak percaya diri, merasa ditolak, tidak dihargai, tidak pernah cukup bagi orang lain, dan merasa tidak disayangi.
Selain itu, anak yang sering dibanding-bandingkan akan belajar untuk membandingkan dirinya sendiri terhadap orang lain. Berikutnya, dia yang akan belajar dan terbiasa membandingkan orang-orang lain di sekitarnya. Begitulah seterusnya.
Dampak lainnya adalah membuat anak stres sendiri karena harus menyamakan diri dengan orang lain yang dijadikan baku pembanding (padahal, mungkin memang bukan sifat dasar dan potensi/bakatnya demikian), memupuk kebencian si anak terhadap baku pembanding, hingga menimbulkan persaingan tidak sehat (semata-mata agar anak merasa dirinya diterima dan diakui).
Toxic, bukan?
Jika kita ataupun anak sendiri yang dibanding-bandingkan, harus bagaimana?
Jangan baper. Jangan diambil hati. Fokuskan ke inti pesan yang disampaikan (karena tidak semua orang memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan efektif). Jika memang maksud pesannya baik (misalnya karena kekhawatiran orang lain terhadap pola asuh kita yang mungkin dianggap keliru), fokus untuk membahas itu saja. Bagaimanapun, sudah seyogyanya bagi kita untuk open minded menerima saran dan belajar hal yang baru, yang mungkin memang kita perlukan. Kita tidaklah selalu benar. Akan tetapi, bukan berarti kita telan mentah-mentah, angguk-angguk manut, setuju, dan langsung melaksanakan anjurannya, ya. Kan, orang lain pun bisa salah. Tetap harus di-filter dan disesuaikan dengan value yang kita miliki.
Jika tidak sanggup untuk berpikir positif dan menanggapi dengan tenang, ya sudah, abaikan atau ganti topik saja. Jika perlu, hindarilah.
Rajin-rajinlah belajar mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak, agar kita sendiri punya baku standard yang benar, sehingga tak lagi mudah terpengaruh dan baperan dengan berbagai komentar tak-terkontrol di luaran sana.
Kesimpulan
Sebaik-baiknya niat dan tujuan, selazim-lazimnya realita di lapangan, hindarilah membanding-bandingkan orang lain. Carilah cara yang lebih bijak, lebih enak didengar, lebih enak diterima, efektif, dan konstruktif–jika kita memang peduli.
Leave A Comment