Makanan adalah hal yang pokok dalam kehidupan. Tanpanya kita tak dapat memberikan asupan gizi kepada tubuh. Dan sebelum makan kita harus berbelanja dahulu atau disebut juga dengan “jajan”.  Anak-anak pun sudah bisa jajan sendiri. Berikut diskusi ringan sekaligus sharing tentang bagaimana anak punya kebiasaan jajan.

Bagaimana Anak Punya Kebiasaan Jajan?

Oleh: Fajri Umami

Situasi

Minggu lalu, Ibrahim beli es krim di satu swalayan dekat rumah. Dia pulang dengan wajah sumringah. Menikmati es krim sampai habis. Ayah Bunda tak lupa dibagi icip-icip sedikit (belinya memang cuma satu). Kemarin sore, saat Ayah bersiap-siap keluar untuk membeli sesuatu, Ibrahim nyeletuk.

Jajan, yuk, Yah.”

“Di swalayan.”
“Memangnya uang jajan Ibrahim masih ada?”

Ibrahim berusaha mengingat. Bunda bantu jawab.


“Maunya di swalayan, Bunda….”
“Memangnya Ibrahim mau beli apa?”
“Es krim.”
“Kan, di freezer ada es krim. Bunda sudah bikin buat Ibrahim kemarin (beberapa hari yang lalu).”
“Tapi, Ibrahim maunya, kan, es krim yang pakai tangkai…. Bukan yang itu….” (Buatan kami disimpan dalam wadah kotak).
“Ibrahim mau es krim yang bertangkai? Kita bikin aja, gimana?”
“Setuju! Bikin sekarang aja, yuk, Bunda!”
Oke, Sayang….”

Akhirnya, sore itu diisi dengan membuat es krim bertangkai. Dengan semangat, Ibrahim ikut berpartisipasi sesuai instruksi Bunda. Mulai dari penyiapan alat dan bahan-bahan, mengaduk bahan, pencetakan, hingga menyimpan di freezer. Baru satu menit es krim berdiam di freezer, Ibrahim sudah bertanya, “Sudah jadi es krimnya, Bunda?” Oalah… Jadinya saya harus jelaskan kembali proses pembekuan es krim dan waktu tunggu yang harus dia jalani (kami sudah sering bahas ini setiap kali membuat es krim. Namun, sepertinya pengulangan itu memang perlu untuk menenangkan jiwa yang tidak sabaran). Semoga es krim bertangkainya jadi dan stick-nya tidak lepas dari es (karena kami pakai bahan es krim, bukan bahan popsicle).

***

Jajan. Saya suka jajan camilan. Pada dasarnya, saya suka makan. Apa saja (asal halalan thoyyiban, pastinya). Selera bisa masuk ke mana saja (syukurlah). Saya pilih jajan camilan (bukannya makanan bermangkok, seperti lontong dan bakso, ataupun dalam cup/gelas, seperti ice bubble) itu ada pertimbangannya: biar dapat lebih banyak dan habisnya lebih lama. Soalnya, saya gampang ngiler saat melihat orang lain makan. Kalau lagi ngiler dan tidak tahan, saya harus makan sesuatu sebagai kompensasi. Baik bekal dari rumah, permen, roti, kacang, es dalam plastik,… apapun. Jadi, sembari menunggu yang lain selesai makan, saya makan juga. Saya bahkan pernah buru-buru pulang dari kampus buat makan di rumah hanya karena ngiler lihat soto ayam yang dipesan teman (ini yang paling bikin saya sendiri geleng-geleng kepala mengingatnya).

Dari kecil, saya pikir uang jajan saya pas-pasan jika dibandingkan dengan teman-teman. Saya telah lama bertanya-tanya, kenapa teman-teman bisa punya uang jajan lebih banyak ketimbang saya. Padahal, saya pikir kemampuan finansial keluarga kami sebanding, kok. Ada juga yang orang tuanya berjualan buah di pasar (dengan penghasilan tidak tetap, pikir saya), tetapi anaknya bisa punya koleksi komik yang lengkap (saya dan teman-teman rajin pinjam, soalnya) dan bisa jajan cake slices yang harga sepotong kecilnya saat itu setara harga semangkok mie ayam. Berhubung mereka teman akrab saya, kadang saya nimbrung juga makan bareng mereka. Hanya saja, saya harus menabung dulu (irit jajan beberapa hari biar bisa makan bareng teman-teman satu kali).

Saking penasaran dengan jatah jajan teman-teman, saya pun bertanya sama Mama. “Ma, kenapa mereka bisa punya uang jajan lebih banyak, ya? Bisa beli ini-itu. Padahal kelihatannya penghasilan orang tua mereka setara lah dengan penghasilan Mama Papa.” Waktu itu, Mama menanggapinya tidak sesuai harapan saya, “Coba bandingkan dengan orang lain yang posisinya di bawah. Yang tidak punya uang jajan. Atau yang buat makan sehari-hari saja susah. Belajarlah memandang ke bawah, bukan ke atas terus.” Glek! Penasaran saya tidak terjawab, malah diceramahi, walaupun saya akui bahwa ucapan Mama itu benar banget.

Nah, pas tinggal di kontrakan sebelumnya, “jajan” pernah jadi topik bahasan saya dan suami saat di meja makan.

Di gang tempat kami tinggal saat itu, hampir di setiap rumah ada warungnya. Tetangga saya mayoritas berjualan di rumah masing-masing. Dari 10 rumah tetangga kiri-kanan dan depan rumah, ada 5 yang berjualan. Jualannya beragam, mulai dari camilan anak-anak, gorengan, pop ice, mie goreng, mie ayam, sampai nasi bungkus. Teman-teman Ibrahim yang usianya rentang 2 hingga 9 tahun, semuanya suka jajan. Pagi jajan di sekolah, siang jajan di rumah, sore jajan di tempat ngaji, malamnya jajan lagi di rumah, dan pas ada tukang bakso atau cilok yang lewat, minta jajan lagi sama orang tuanya. Rata begitu kebiasaannya. Sekali jajan, rata-rata (atau minimal?) habis 2000 rupiah. Saya penasaran, kenapa mereka bisa punya kebiasaan jajan yang sesering dan sebanyak itu? Bagaimana bisa orang tua mereka membentuk pola yang demikian, sementara rata-rata para orang tua berpenghasilan tidak tetap (ada yang buruh pasar, jualan makanan di pinggir jalan, buruh pabrik, kurir, tukang ojek, dan sebagainya). Bagaimana mereka harus membagi uang untuk jajan harian anak, keperluan sekolah anak, kebutuhan bulanan rumah tangga, dan tabungan pendidikan anak? (Apalagi biaya sekolah anak itu tidak murah)

Jajan jadi topik bahasan kami saat itu karena Ibrahim sudah berusia 3 tahun dan sehari-hari bergaul dengan teman-temannya (Ibrahim tipikal yang supel dan butuh teman main). Artinya, Ibrahim pasti lah terpapar dengan kebiasaan jajan mereka sering dan banyak itu. Nah, buat Ayah Bunda Ibrahim, itu kebiasaan yang harus dihindari. Kami pun urai satu per satu masalahnya.

Bagaimana anak bisa punya kebiasaan jajan?

  1. Ada contoh.  Anak tentu ingin meniru. Baik karena keingintahuan dan rasa penasarannya untuk icip-icip jajanan yang belum pernah dicoba, atau karena memang doyan, ataupun sebatas ikut-ikutan teman. Saya sering lihat anak-anak minta jajan ke orang tua masing-masing karena melihat ada temannya yang makan jajanan di depan mereka (apalagi kalau yang jajan itu tidak bagi-bagi). Pertama kali Ibrahim jajan itu umur 2 tahunan, diajak sepupunya yang 3 tahun lebih tua.
  2. Ada kesempatan (difasilitasi). Jika anak diberi uang, tentu dia bisa memanfaatkannya untuk beli apa saja, termasuk jajanan. Apalagi jika anak belum bisa mengatur keuangannya sendiri, bisa kebablasan.

Foto: Freepik