Makanan adalah hal yang pokok dalam kehidupan. Tanpanya kita tak dapat memberikan asupan gizi kepada tubuh. Dan sebelum makan kita harus berbelanja dahulu atau disebut juga dengan “jajan”.  Anak-anak pun sudah bisa jajan sendiri. Sebelumnya kita sudah bahas tentang sisi positif dan negatif dari jajan bagi anak. Nah, sekarang saya akan lanjut ke bagian berikutnya. Berikut diskusi ringan sekaligus sharing tentang bagaimana cara mengajarkan pola jajan yang baik kepada anak, mulai dari sejak dini sampai kepada anak jenjang perguruan tinggi.Ini adalah part terakhir dengan tema ‘Jajan’

Bagaimana Cara Mengajarkan Pola Jajan yang Baik pada Anak?

Oleh: Fajri Umami

Bagaimana cara mengajarkan pola jajan yang baik pada anak?

Setelah membandingkan pola didik oleh orang tua masing-masing (di keluarga saya dan di keluarga suami) beserta efek yang kami rasakan saat ini, juga berbekal saran-saran dari psikolog anak dan keluarga, pola yang sedang dan hendak kami terapkan adalah:

1. Usia Preschool

Ini masa pengenalan anak terhadap uang dan awal pembentukan kebiasaan. Jika bisa diatur dengan baik sejak dini, akan lebih memudahkan bagi orang tua.

Teknisnya:

  • Kenalkan pada anak bahwa uang diperoleh orang tua dari hasil usaha (kerja dulu, nabung dulu), digunakan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga (untuk makanan agar bisa makan sekeluarga, untuk beli pakaian agar bisa dipakai sehari-hari,… dan seterusnya). Sebagiannya digunakan untuk jajan anak. Jumlah uang yang kita miliki itu terbatas, makanya anak tidak bisa minta sebanyak-banyaknya. Tidak perlu membandingkan apa yang kita punya dengan yang orang lain punya karena rezeki masing-masing bisa berbeda-beda. Mulai ajarkan anak membedakan antara kebutuhan dan keinginan (misalnya, saat anak minta sesuatu, tanyakan “kenapa?” dan “buat apa?”), belajar mencari alternatif saat yang dibutuhkan/diinginkan tidak terpenuhi, belajar menahan diri, dan belajar bersyukur. Terlalu banyak? Pelan-pelan saja.
  • Jatahi uang jajan anak sesuai kemampuan orang tua dan tidak berlebihan. Untuk nominal, saya tidak bisa patok karena kondisi keuangan keluarga tiap rumah bisa berbeda. Sebagai contoh, Ibrahim (4 tahun) kami jatahi uang Rp6.000 yang diberikan Ayah 1 kali seminggu setiap hari Jum’at (uang itu harus dibagi-bagi ke dalam 3 pos, bukan untuk jajan semua). Pembatasan ini bertujuan agar anak tahu batasan, apa yang bisa dimiliki segera, kapan harus menunggu, dan apa yang memang tidak bisa diperoleh. Saat anak minta lebih, jelaskan bahwa uang yang Ayah Bunda punya itu untuk keperluan yang lain (jika perlu, jelaskan rinciannya), jadi anak tidak bisa minta dan gunakan semaunya.
  • Sediakan beberapa amplop atau kotak kecil untuk membagi-bagi uang yang diperoleh tadi menjadi beberapa kategori. Biarkan anak yang memasukkan uangnya sendiri ke dalam masing-masing wadah. Sebagai contoh, Ibrahim diberikan 3 wadah uang: 1 untuk jajan (Rp2.000), 1 untuk sedekah (Rp2.000), dan 1 lagi untuk tabungan (Rp2.000). Uang jajan digunakan untuk jajan, boleh kapan saja, selagi butuh, selagi uangnya cukup. Kalau habis, tidak bisa jajan lagi, tidak boleh berhutang, tidak bisa minta lagi, harus tunggu hingga Jum’at depan. Kalau uang jajannya berlebih, bisa disimpan dulu untuk lain waktu). Uang sedekah, ya, untuk sedekah (misalnya, sedekah Jum’atan), bukan untuk jajan. Ini untuk membiasakan anak bersedekah dan berbagi dengan orang yang membutuhkan. Uang tabungan untuk membeli mainan atau barang yang Ibrahim mau beli, di luar tanggungan wajib orang tua. Jadi, di dalam wadah tabungan, ada selembar kertas yang bertuliskan daftar barang yang Ibrahim ingin beli. Seringkali daftarnya itu dicoret dan diganti sesuai apa yang Ibrahim sedang inginkan saat itu (beda waktu, beda keinginan). Kalau mau beli mainan/barang dan uangnya cukup, Ibrahim bisa beli. Kalau belum cukup, harus menabung lagi hingga cukup.
  • Sebelum jajan ataupun ajak anak berbelanja di toko/warung, biasakan membuat daftar belanjaan, dan buat kesepakatan dengan anak untuk membeli barang hanya yang tertera di daftar saja. Jika anak diberikan kesempatan untuk memilih barang, jelaskan pada anak kriteria barang yang boleh dipilih dan yang tidak boleh dipilih (sehingga tidak sembarangan pilih).
  • Saat di toko/warung, jangan berlama-lama. Makin lama di sana, makin banyak yang dilihat anak, makin sulit bagi anak untuk mengendalikan diri. Apalagi di supermarket, biasanya mereka sengaja menaruh mainan dan makanan kesukaan anak-anak di bagian dekat kasir (trik marketing yang sering membuat orang tua merasa “fiuuuuuuh” dan harus cerdik mengakali).
  • Setelah jajan, biasakan anak untuk berbagi dengan teman-teman. Jadi, temannya tidak perlu ngiler dan minta jajan juga pada orang tuanya. Jika anak tidak mau atau tidak bisa berbagi (mungkin makanannya cuma sedikit, takut kehabisan, atau yang dibeli itu es krim yang tidak mungkin dibagi karena tidak boleh berbagi makanan yang menempel ke mulut), makannya harus di dalam rumah, tidak pakai pamer, dan tidak boleh kelihatan sama teman. Kan, kasihan kalau temannya hanya melihat dan ngiler. Sedih, lho. Mungkin temannya tidak bisa beli karena lagi sakit, atau tidak ada uang, atau tidak boleh makan yang itu sama orang tuanya, atau kemungkinan lainnya. Menahan diri itu tidak gampang, lho. Khusus poin ini, kuncinya adalah dukungan dari lingkungan. Jika semuanya kompak menggunakan aturan ini, anak-anak kita akan lebih terbantu untuk belajar berbagi ataupun menahan diri, dan no cranky minta jajan.
  • Biasakan pola makan yang sehat dan bergizi. Kapan harus makan besar, kapan makan camilan. Sebisa mungkin sediakan sendiri apa yang anak mau, ketimbang dibeli. Hal ini selain untuk menjamin gizi dan higienitas makanan, juga menjauhkan anak dari kebiasaan jajan berlebihan. Sebelum membeli, coba pikirkan alternatif untuk membuat sendiri. Memang lebih repot dan lebih lama prosesnya, sih, tetapi besar manfaatnya bagi anak.  Jika anak kooperatif, membuat makanan bersama di dapur juga bermanfaat bagi anak. Itu semua saya pelajari dari didikan orang tua. Sebagai tambahan, jika harus membeli jajanan, lebih baik kita yang beli dan stok di rumah, ketimbang anak harus ke warung untuk jajan. Kita bisa pilihkan jajanan yang lebih baik, sekaligus meminimalkan frekuensi jajan anak.

2. Usia Sekolah

Di usia ini, upayakan agar anak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Di usia ini, anak mulai belajar mengelola keuangan pribadinya sejak dini. Berhubung anak saya masih 4 tahun, bagian ini belum saya terapkan. Namun, ini adalah metode yang digunakan orang tua saya dulu, yang saya nilai sangat bermanfaat dan patut dicontoh.

Teknisnya: 

TK – 3 SD:

  • Biasakan anak untuk membawa bekal ke sekolah.
  • Jatahi uang jajan anak sesuai dengan kemampuan orang tua dan tidak berlebihan, berikan per hari, dan berlaku untuk seharian penuh.
  • Jika anak memiliki banyak aktivitas, misalnya sekolah dan mengaji atau les lainnya, ajarkan anak membagi uang jajannya tadi hingga cukup untuk memenuhi kebutuhan jajan seharian. Misal: yang ini uang untuk jajan di sekolah, ini uang untuk jajan di tempat TPA atau tempat les. Jadi, anak tidak minta-minta lagi nantinya.
  • Untuk uang sekolah yang harus dibayarkan sendiri oleh anak (jika ada), ingatkan anak untuk tidak menggunakannya sebagai uang jajan.
  • Lanjutkan kebiasaan bersedekah dan menabung.

Kelas 4 SD – SMA:

  • Lanjutkan kebiasaan bawa bekal ke sekolah,
  • Tetap jatahi uang jajan anak sesuai dengan kemampuan orang tua dan tidak berlebihan.
  • Ajarkan anak membuat anggaran kebutuhan bulanan pribadinya. Misal: uang jajan sekolah, uang jajan les, ongkos ke sekolah/tempat les, uang SPP bulanan, uang les, uang perlengkapan dan peralatan sekolah (buku tulis, buku cetak, alat tulis, fotokopi bahan, dan sebagainya), uang belanja toiletries (menstrual pads, deodorant, jika harus beli sendiri), uang pulsa (jika memang perlu), dan sebagainya. Semua dirangkum dalam 1 daftar budget bulanan, diajukan ke Ayah, lalu uangnya diberikan satu kali saja berdasarkan “proposal” tersebut. Jika ada pengeluaran dadakan, jika bisa ditalangi dengan uang tabungan sendiri, talangi saja dulu (agar tidak merepotkan orang tua, terutama yang bekerja sebagai pegawai).
  • Perlahan, berikan kepercayaan kepada anak untuk mengatur keuangan adiknya yang masih belajar di fase awal.
  • Jika anak berminat dalam interpreneur, fasilitasilah. Misalnya, anak berminat berjualan camilan atau souvenir. Orang tua bisa fasilitasi dengan memberikan modal, mengarahkan cara mengolah bahan, dan memberikan dukungan moril pada anak untuk berjualan.

Kuliah:

  • Lanjutkan program sebelumnya.
  • Beri anak tugas dan kepercayaan untuk menyetorkan pembayaran bill ini-itu (misal: tagihan listrik, tagihan telepon, dan sebagainya) ataupun tugas berbelanja keperluan bulanan dan dapur keluarga. Tujuannya, agar anak tahu rincian kebutuhan keluarga, berapa pendapatan dan pengeluaran keluarga, serta bagaimana cara orang tua mengelola keuangan keluarga. Hal ini sangat bermanfaat bagi anak untuk belajar hidup mandiri, terlebih setelah berkeluarga.
  • Ajarkan anak untuk menabung dan berinvestasi untuk kebutuhan jangka panjang.
  • Dukung anak untuk produtif dan belajar mandiri secara finansial.

***

Kesimpulan

Berawal dari jajan, dan berakhir dengan pengelolaan keuangan pribadi. Untuk di awal, pembentukan kebiasaan jajan yang “sehat” itu memang tidak mudah bagi anak. Bahkan, mungkin seperti saya dulu yang punya banyak pertanyaan di kepala (walaupun tetap saya jalani juga). Namun, manfaatnya sangat besar bagi anak di kemudian hari. Jadi, “tega” dan tegas dengan dosis yang cukup itu perlu bagi orang tua dalam mendidik anak. Saya rasa ini cukup untuk sekarang. Semoga bermanfaat.

 

Foto: Freepik