Memberitahu kata paham dan janji kepada sesama orang dewasa mungkin terasa mudah tetapi jika dibayangkan lawan bicara kita adalah balita maka akan menjadi gampang-gampang susah. Pasalnya kemampuan anak dalam memahami 2 kata yang dinilai abstrak itu berbeda-beda apalagi dengan umur yang masih tergolong kecil. Orang tua tentu harus menyesuaikan dengan kemampuan komunikasi dengan gaya berpikir mereka. Berikut adalah sharing pengalaman mengenai mengenalkan kata paham dan janji versi balita.
Paham dan Janji Versi Balita
Oleh: Fajri Umami
Situasi 1
Ibrahim lagi memainkan gunting yang sedang Bunda pakai, padahal sudah disediakan gunting khusus buat dia (gunting anak yang bahannya plastik/non-metal, tetapi tetap bisa dipakai untuk menggunting kertas).
Situasi 2
Ibrahim lagi suka main aksi-aksi (pura-pura jadi Ultraman dan sejenisnya) meniru teman-temannya yang sudah kelas 3 SD (bukan meniru versi TV karena Ibrahim tidak diizinkan nonton acara yang ada berantem-berantemnya). Bagi teman-temannya, main aksinya itu, ya, pura-pura. Tidak kena benaran. Tidak ada kontak fisik yang menyakiti. Nah, kalau Ibrahim, mungkin karena usianya, masih kesulitan membedakan mana yang aksi benaran dan mana yang pura-pura. Jadinya, kadang memang kena pukulannya. Nah, sore itu, Ibrahim lagi mau main aksi-aksi lagi, tapi Bunda lagi sibuk. Jadinya, Ibrahim usili Bunda.
Untuk beberapa waktu, memang Ibrahim mengikuti aturan yang sudah disepakati. Bunda pikir, Ibrahim sudah paham apa yang Bunda maksud. Urgensi dari aturan yang telah dibuat dan apa konsekuensi jika aturan dilanggar. Kami berusaha untuk bahas semuanya bersama agar anak paham permasalahan dan tahu apa yang harus dilakukan ke depannya.
Maunya Bunda, Ibrahim akan sepatuh itu hingga seterusnya karena dia “sudah paham” (dinilai paham karena selain ucapannya, sikap yang ditunjukkan juga sejalan, untuk beberapa waktu). Namun, ternyata, di lain waktu, Ibrahim berbuat yang sama lagi (melanggar kesepakatan). Oke lah. Bunda cukup ulangi kembali tahapan sebelumnya untuk mengingatkan si anak dan sekaligus internalisasi aturan ke anak. Done.
Jika pengulangan dilakukan 2-3 kali, oke lah. Masih bisa dilakukan dengan baik dan intonasi yang terjaga. Kalau harus berkali-kali? Buat saya yang masih banyak PR inner child dan anger manegement ini, saya bisa cranky. Nah, di sini lah permasalahannya. Saya sampai di satu titik, menemukan apa yang “berisik” di kepala saya sehingga saya jadi cranky.
Saya bahas satu per satu.
Bilang paham, tetapi melanggar. Bilang janji, tetapi ingkar. Buat saya, itu big no-no. Itu yang membuat saya cranky.
Di kamus saya, kata “paham” itu lebih dari sekadar tahu. Tahu dulu apa yang jadi masalah, tahu penyebab dan pencetusnya, tahu akibat/efek dan konsekuensinya, serta tahu apa yang harus dilakukan ke depan. Setelah tahu, ada proses internalisasi dan mengukur diri. Maksudnya, jika memang suatu aturan itu baik/bermanfaat untuk diri sendiri, dan melanggar aturan berarti harus menghadapi konsekuensi yang tidak sanggup ditanggung sendiri, maka tidak akan berani melanggar aturan tersebut.
“Janji” buat saya berarti ucapan yang memang wajib, suka-tidak-suka, mau-tidak-mau, no excuse, harus ditepati. Jadi, sebelum berjanji, harus mikir dulu, sanggup atau tidak untuk melaksanakannya. Jika tidak sanggup, jangan berjanji.
Nah, saat anak bilang “paham”, saya pikir “paham”-nya itu sama dengan “paham” versi saya di atas. Jika ternyata anak melanggar aturan, padahal sebelumnya bilang “paham”, artinya dia tidak tahu arti kata paham, lagi lupa, atau dia nekad. Begitupun saat anak bilang “janji”. Saya pikir, janji yang kami pahami sama. Jika melanggar janji yang telah diucapkan, berarti dia tidak paham arti kata janji, lupa, atau dia hanya belum bisa komitmen.
Sebenarnya, si anak paham atau tidak maknanya?
Poin yang saya lupa adalah lawan bicara saya itu bocah yang masih balita. Bukan ayahnya yang sudah dewasa, kaya perbendaharaan kata, dan paham isi kamus di otak saya. Saat bicara dengan anak, seringkali gaya bicara dan pilihan kata yang digunakan tidak sesuai dengan usia anak. Jadinya, kita bilang A, belum tentu yang anak pahami adalah A. Begitu pun saat anak bilang B, belum tentu B yang dimaksud sama dengan B yang ada di kamus otak kita, harus cross-check dulu.
Berdasarkan teori perkembangan bahasa anak, usia balita baru mampu memahami makna kata konkret, bukan abstrak. Konkret itu contohnya rumah, buku, pohon, segitiga, lingkaran, tinggi, rendah, panas, dingin, pahit, manis, dan sebagainya. Semua itu bisa dilihat, disentuh, diraba, didengar, dicium/dibaui, dan dirasa/dicicip dengan mengandalkan panca indera. Kalau abstrak contohnya kemarin, besok, percaya/iman, aman, bahaya, dan sebagainya. Di luar jangkuan panca indera. Jadi, untuk mendefinisikannya ke anak, sulit. Wajar, jika anak belum paham semua kata abstrak itu.
Paham dan janji itu juga abstrak. Saat balita bilang “paham” dan “janji”, ya, jangan ditelan mentah-mentah karena besar kemungkinan mereka tidak paham apa yang diucapkan.
Lalu, kalau tidak paham, kenapa disebut?
Nah, ini dia. Anak itu pandai membaca situasi dan pola. Anak tahu jawaban mana yang kita ingin dengar darinya, jawaban apa yang bisa membuatnya “aman”. Anak juga bisa memprediksi respon orang lain. Jika ia berkata A, maka Ayah Bunda pasti akan menanggapi begini, sementara jika ia berkata B, maka Ayah Bunda akan menanggapi begitu. Instingnya (bagian otak yang memang sudah berkembang baik sejak awal di semua makhluk hidup) akan mengarahkannya untuk “cari aman” tentunya. Makanya, jika kita berharap dia jawab “paham”, maka dia akan bilang “paham”. Jika dia pikir berkata “janji” itu akan membuat Ayah Bunda memaklumi kesalahannya dan tidak memperpanjang masalah, maka dia akan bilang “janji”.
Lalu, apakah sebaiknya jangan pakai kata “paham” dan “janji” lagi?
Tidak begitu juga, sih. Tidak ada salahnya menggunakan kedua kata itu. Tujuannya agar perlahan anak belajar memahami maknanya. Dengan konteks situasi, pengulangan, dan konsistensi, perlahan anak akan paham juga. Hal penting yang harus kita ingat adalah jangan berekspektasi ketinggian. Jangan berharap anak akan segera paham hanya karena kita sudah berusaha dengan baik memberikan pengertian.
Dulu, Bu Elly Risman (psikolog anak dan keluarga yang sudah lintas generasi) pernah menyampaikan tentang teori perkembangan otak anak. Jadi, untuk usia anak di bawah 4 tahun, otaknya “masih belum bersambungan”. Maksud beliau, kemampuan analisis (otak prefrontal korteks) anak usia tersebut memang masih belum berkembang optimal. Jadi, saat anak dikasih tahu dan diberi pemahaman, lalu dia melanggar aturan, harap maklum. Bukannya dimarahi dan diomeli, walaupun dengan niat untuk mendisiplinkan.
Memaklumi juga bukan berarti membiarkan begitu saja. Harusnya, saat anak berbuat salah di usia balita, treatment-nya, ya, dengan mengingatkan kembali agar si anak lebih ingat, terbiasa, menjadi kebiasaan, dan perlahan seiring berjalannya waktu, anak akan benar-benar paham.
Kesimpulan
Hal terpenting dalam berkomunikasi dengan balita adalah sadar bahwa mereka masih balita. Kamusnya beda dengan yang kita miliki. Jadi, kita lah yang harusnya menyesuaikan bahasa dan cara berkomunikasi yang sesuai dengan perkembangan di usianya. Selain itu, jangan berekspektasi terlalu tinggi hanya karena kita merasa sudah memaksimalkan upaya.
Foto: cermati.com, klik dokter
Leave A Comment