Sudah hampir setahun wabah covid-19 muncul, dan juga hampir setahun juga pembelajaran jarak jauh (PJJ) “daring” dilakukan. Tentu ini banyak suka dukanya, terlebih ini menjadi hal yang baru bagi anak maupun orang tua. Orang tua menjadi guru dadakan di rumah, disamping ia juga bekerja, baik  di rumah maupun di luar. Pada part sebelumnya kita sudah mengulas sedikit tentang menjadi guru dadakan bagi anak. Selanjutnya kita akan sharing prinsip-prinsip yang digunakan oleh bunda Ibrahim dalam pembelajaran jarak jauh ini.

Prinsip Mengajar ala Bunda Ibrahim

Oleh: Fajri Umami

 

  1. Kuasai Materi

Kenapa ini penting? 

Penguasaan materi jadi hal pertama yang harus dimiliki Ayah Bunda sebelum mengajarkan anak. Jika Ayah Bunda tak paham, bagaimana bisa membuat anak paham? Dengan menguasai materi, Ayah Bunda bisa tahu apa tujuan anak mempelajari materi tersebut, apa modal dasar yang harus dimiliki anak untuk memahami materi, tahu dari mana harus memulai, tahu bagaimana cara memberikan penjelasan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami anak, dan bisa menjelaskan apa guna mempelajarinya (implementasi materi) dalam kehidupan sehari-hari yang familiar bagi anak.

Bagaimana caranya? 

Pelajari. Bisa dengan menggunakan buku teks yang biasa digunakan guru di sekolah ataupun sumber-sumber lain yang berseliweran di dunia maya (Googling saja). Pastikan bahwa sumber informasi yang kita gunakan itu valid.

Beberapa sumber referensi standar yang free download:

  • Untuk anak usia 0-6 tahun, Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP) bisa dilihat di sini, dan Denver II bisa dilihat di sini (English, Indonesia).
  • Buku panduan PAUD keluaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), bisa dilihat di
  • Buku teks ajar tingkat SD-SLTA, bisa dilihat di sini).

 

  1. Pahami apa yang dianggap menarik, menyenangkan, atau menantang untuk dicoba anak.

Kenapa ini penting?

Agar anak termotivasi untuk mencoba sendiri (sehingga orang tua tak perlu sampai keluar taring untuk menyuruh anak belajar). Mencoba pertama kali itu penting. Tanpa mencoba, anak tak kan tahu apakah dia bisa atau tidak.

Jadi, apa yang harus orang tua lakukan?

  • Cari tahu hal apa yang disukai anak. Misalnya, anak tertarik dengan apapun yang  bertemakan kendaraan dan alat berat, anak bercita-cita menjadi astronot, anak penggemar berat Paw Patrol, anak fokus kalau giliran film kartun dan buku bergambar, dan sebagainya. Jadi, siapkanlah media belajar yang bertema atau berkaitan dengan hal-hal menarik tersebut.
  • Cari tahu gaya belajar efektif bagi anak. Anak yang cenderung audio lebih mudah paham jika kita mengajarkan melalui bercerita/mendongeng, cerita dengan menggunakan puppets, dan menjelaskan secara langsung/lisan dan diulang-ulang. Anak yang visual lebih mudah paham jika kita menggunakan media gambar, seperti buku bergambar, kartu bergambar atau flash card, menggambar langsung di papan tulis, lembar kerja dengan gambar yang menarik, dan video edukasi (dengan pendampingan orang tua, tentunya). Anak yang cenderung kinestetik lebih tertarik dan mudah paham jika kita menggunakan setting permainan yang mengandalkan gerak dan praktik, seperti permainan mencari harta karun, ular tangga raksasa (anak bisa jalan dan lompat di atasnya), adu cepat lari menuju base berlabel tertentu, dan menghitung koin.
  • Kemas dalam bentuk permainan menantang. Pada dasarnya, tiap anak ingin merasa menang, baik menang melawan rasa malu dan takut gagal, melawan temannya, ataupun sebatas menang atas tantangan yang diberikan. Jika anak malu dan takut gagal, puji-pujilah anak atas kelebihan dan keunggulan yang dia miliki, dan sebut-sebutlah keberhasilan yang pernah dia capai, agar anak tahu bahwa dia orang yang cukup mampu dan hebat hingga kepercayaan dirinya muncul kembali. Jika anak tipikal yang senang berkompetisi, buatlah permainan adu cepat. Hanya saja, kita harus jaga agar tak ada yang merasa benar-benar kalah (maksudnya, siapapun yang kalah, sekalipun kalah, yakinkan anak jika kalah-menang itu tak masalah, karena yang paling penting adalah kita telah berusaha). Jika anak tipikal suka mencoba sesuatu yang baru dan menuntaskan misi, gunakan metode permainan menantang, seperti detektif-detektifan (mencari gambar/huruf/angka/kata tersembunyi), mencari harta karun, dan puzzle.
  • Mengenai ide permainan atau media yang bisa digunakan, saya rasa tinggal Googling saja karena banyak aplikasi, situs, komunitas, hingga printable worksheet yang dapat diakses bebas.

 

  1. Mulai dari yang paling gampang untuk anak kuasai.

Maksudnya, mulai dari level yang paling mudah anak kerjakan dan pahami.

Kenapa ini penting?

Memulai dari pembelajaran dari level yang paling mudah untuk dikerjakan/dipahami anak bertujuan agar anak merasa mampu. Target kita di awal adalah memberikan kesan belajar/materi ajar yang baik, tidak sulit, bisa ditaklukkannya.

Bagaimana caranya?

Ini seperti prinsip/trik yang digunakan dalam pengembangan games pada umumnya. Games dikemas dalam berbagai level, dan kita harus mulai dari level terendah, level 1. Jika lolos level 1, muncul kepercayaan diri, “Ah, kalo ini aku bisa. Lanjuuut”. Intinya, bangun rasa “aku mampu, aku bisa” pada anak, sehingga dengan sendirinya dia akan mencoba lagi dan lagi. Kepercayaan diri dan merasa mampu ini juga yang membuat anak jadi menyukai pelajaran. Coba ingat-ingat lagi, pelajaran apa yang paling kita sukai waktu masih sekolah dulu? Pasti salah satu alasan kita menyukainya adalah karena nilai kita bagus di subjek itu. Lalu, pelajaran apa yang paling kita hindari? Salah satu alasan terbesarnya adalah karena kita tidak paham dan nilai yang diperoleh tak pernah memuaskan.

Untuk tahu bentuk level awal yang harus diberikan, Ayah Bunda harus tahu dulu kemampuan yang sudah dimiliki anak.

Jika di level awal saja anak tak berhasil, bagaimana?

Jaga mulut dan sikap agar tak berkata kasar ataupun menunjukkan sikap yang membuat anak merasa benar-benar gagal. Keduanya hanya akan menyurutkan minat anak untuk mencoba kembali. Jadi, perbanyaklah perbendaharaan kata-kata penyemangat, seperti “Ayo, coba lagi”, “jangan menyerah”, “kamu bisa, kok”, dan sebagainya.

Jika anak berhasil, sudah merasa percaya diri, dan suka di bagian awal, apa tugas kita selanjutnya?

Menjaganya. Caranya: amati kemampuan anak, agar kita tahu kapan harus menaikkan level atau berpindah ke materi selanjutnya, di bagian mana yang harus ditekankan atau diulang-ulang, kapan bisa meningkatkan pace belajar, dan kapan harus pause agar anak tak jenuh.

 

  1. Berikan reward atau hadiah yang pantas.

Kenapa ini penting?

Reward (sebagai apresiasi) itu penting untuk membuat anak merasa berhasil (puas), dan tak jarang reward jadi motivasi anak. Dengan sendirinya, anak akan semangat untuk terus mencoba dan belajar.

Bagaimana caranya?

Reward bisa dalam bentuk pujian (waktunya Ayah Bunda untuk mengumpulkan berbagai macam ungkapan pujian sederhana yang anak akan sukai), nilai/bintang/smiley stamp di ujung worksheet, score di papan tulis, poin/bintang di papan aktivitasnya, voucher bebas bermain dan memilih permainan bersama Ayah Bunda di akhir pekan, dan sebagainya. Kalau reward semacam itu saja cukup, itu lebih baik.

Kata Bu Elly Risman, reward itu harus diberikan diakhir (kalau di awal, namanya sogokan), dalam bentuk semampunya orang tua, dan pujian itu adalah keharusan (kalau saya tak salah ingat; ini redaksi saya sendiri, ya). Jangan biasakan memberikan reward berupa materi yang berlebihan dari awal. Sebab, makin naik level keberhasilannya, naik juga level reward yang diharapkan. Ending-nya, Ayah Bunda bisa kewalahan sendiri.

Jika sesekali memberikan reward berupa materi, seperti belanja makanan atau mainan kesukaannya saat anak berhasil menuntaskan materi sulit, saya pikir reasonable. Intinya, sesanggup orang tua saja.

 

  1. Jaga kata-kata dan sikap/reaksi saat anak menolak belajar, atau hasilnya tidak sesuai ekspektasi.

Kenapa ini penting?  

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, bahasa kasar/merendahkan, atau membanding-bandingkan si anak dengan temannya yang nilainya lebih tinggi, hanya akan membuat anak merasa benar-benar gagal dan tertolak. Keduanya akan menyurutkan minat anak untuk belajar dan mencoba kembali. Tentu itu tak kita inginkan.

Jadi, orang tua harus bagaimana?

Jauh-jauh dari kata-kata kasar, kebiasaan marah-marah, kebiasaan membanding-bandingkan, dan labelling. Perbanyaklah perbendaharaan kata-kata penyemangat, seperti “Ayo, coba lagi”, “jangan menyerah”, “kamu bisa, kok”, dan sejenisnya. Jika merasa mulai tersulut emosi, segera redakan, tenangkan hati, jernihkan pikiran, take time buat kembali ke normal mode agar bisa menyusun strategi yang baru.

 

  1. Peka dan cermat dalam melihat masalah pada anak.

Maksudnya, Ayah Bunda harus peka saat anak menemukan masalah. Tidak ada anak yang awalnya mau belajar, lalu tiba-tiba mogok belajar, tanpa penjelasan apapun. Pasti ada masalah. Nah, tugas orang tua untuk mencari tahu letak masalahnya.

Kenapa ini penting?

Agar Ayah Bunda bisa membantu mentuntaskan masalahnya (mungkin orang tua harus evaluasi dan ganti metode pembelajaran agar anak lebih mudah paham, atau mungkin ada materi yang perlu diberi penekanan, misalnya). Harapan kita, proses belajar anak tak berhenti begitu saja.

Bagaimana cara mengetahuinya?

Ayah Bunda yang lebih tahu bagaimana cara menghadapi anak masing-masing. Bagi saya pribadi, hal yang paling sederhana adalah bertanya langsung kepada si anak. Lakukan dengan tahapan komunikasi efektif. Lalu, kita juga bisa amati dari proses belajar dan hasil evaluasi belajar anak, untuk menemukan letak masalah atau kesulitannya. Barulah kita tahu apa yang harus dilakukan ke depannya. Mungkin harus off sementara karena anak merasa bosan. Mungkin harus ganti metode agak lebih efektif. Mungkin harus gunakan media dan cara penyampaian yang berbeda. Mungkin yang lainnya.

 

  1. Jaga agar ekspektasi orang tua ke anak tidak melebihi kapasitas kemampuan anak. 

Kenapa itu penting?

Akan melelahkan bagi orang tua maupun anak jika harus mengejar sesuatu yang sulit dimiliki. Bagi orang tua, akan berakhir kecewa. Bagi anak, akan menjadi beban, merasa tak diterima, tak disayang, dan merasa gagal jika tak memenuhi harapan orang tua.

Bagaimana caranya?

Pahami kapasitas kemampuan anak, dan berempatilah. Usaha memang harus maksimal (“man jadda wa jadda”, siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil). Doa memang harus setinggi-tingginya (karena bagi Allah, tak ada yang  tak mungkin, “kun fayakun”, jadilah, maka terjadilah). Namun ekspektasi ke anak, yang logis saja, sesuai kemampuan. Jika melebihi harapan, anggaplah itu bonus. Itu akan melegakan bagi semua pihak.

 

Kesimpulan

Saat mayoritas orang tua mendadak menjadi guru di rumah, tentu bukan hal yang mudah untuk dijalani. Berdasarkan pengalaman pribadi, setidaknya, ada 7 prinsip yang harus dimiliki orang tua agar proses pembelajaran di rumah berjalan dengan baik. Pertama, penguasan materi. Kedua, penyajian materi yang menarik.. Ketiga, sesuaikan dengan kemampuan anak (mulai dari yang paling gampang). Keempat, reward yang pantas. Kelima, tetap tenang saat pembelajaran tak seusai rencana. Keenam, peka dan cermat membaca masalah pada anak. Ketujuh, jangan berekspektasi terlalu tinggi.

Semoga bermanfaat dan membantu Ayah Bunda di rumah dalam membersamai anak-anak belajar di rumah.

 

Foto: Farah.id