Menginginkan anak mendapatkan yang terbaik tentu merupakan keinginan dari semua orangtua, tapi jika yang terbaik itu diartikan sebagai bersaing dalam kompetisi bagaimana? Tentu akan sulit untuk mendapatkan ‘selalu’ menjadi terbaik. Dan tidak hanya orang tua yang menerima dampaknya, tapi anak pun juga. Jangan sampai self esteem anak terganggu. Berikut adalah sharing-sharing singkat yang membahas seputar kompetisi pada anak.

Kompetisi yang Melelahkan

Oleh: Fajri Umami

 

Situasi: pembicaraan ibu-ibu di suatu negeri antah-berantah.

“Anakku udah bisa jalan pas dia masih 11 bulan, lho. Kok anakmu, udah setahun, masih belum bisa jalan, sih?” (Di belahan dunia yang lain, ada anak 9 bulan yang sudah bisa berjalan dengan lancar)

“Dinda udah hafal berapa juz? Anakku udah khatam juz 30 sejak umur 2 tahun, lho. Sekarang dia hampir tuntas 5 juz.” (Anak yang dibahas masih berusia 6 tahun. Di belahan dunia yang lain, ada anak 5.5 tahun yang sudah hafal 30 juz)

“Wah, anakmu pintar banget berhitungnya. Ngomongnya juga ngga kayak anak seumuran. Apa resepnya, sih? Ponakanku yang seumuran, boro-boro berhitung, nyebutin angka aja kadang masih salah-salah. Kerjaan maiiiin terus. Ngga mau diajarin.” (Anak yang dibahas masih berumur 3.5 tahun, belum ada tuntutan untuk bisa berhitung menurut KPSP IDAI ataupun Denver II*)

 

Ada banyak cerita senada. Mungkin, kita sendiri tanpa sadar juga berbuat demikian. Ibu-ibu (mungkin bapak-bapaknya juga) saling pamer kemampuan dan pencapaian anak masing-masing. Sudah bisa ini-itu. Unggul ini-itu. Menang ini-itu.

Berbangga itu natural. Apalagi rasa bangga orang tua terhadap anaknya. Harapan baik terhadap anak terwujud, siapa yang tak berbangga hati? 

Namun, kadang ada juga yang kebablasan. Merasa harus bisa “lebih” dibandingkan yang lainnya, baru puas. Berkompetisi, padahal tak ada perlombaan apapun.

(Dalam artikel ini, “berkompetisi” yang saya maksud adalah merasa ingin bersaing dan mengungguli yang lain, meskipun sedang tidak ada perlombaan/pertandingan apapun. Jadi, saya tidak bahas tentang kompetensi dalam pertandingan, ya….)

Kompetisi yang Melelahkan

Ada anak yang lebih dulu bisa berjalan. Ada anak yang lebih dulu bisa bicara. Ada anak yang lebih dulu bisa bicara. Ada anak yang lebih dulu tuntas hafalan Qur’annya. …. Akan selalu ada yang “lebih dulu”.

Ada anak yang jalannya lebih lincah dan larinya lebih kencang dari teman-temannya. Ada anak yang bicaranya lebih fasih dan unggul dalam beradu argumenasi. Ada anak yang tak sekadar membaca lebih banyak buku, tetapi juga selalu menganalisis konten bacaannya. Ada anak yang tak hanya lebih rajin beribadahnya, tetapi juga adab dan akhlaknya terjaga. …. Akan selalu ada yang “lebih baik”.

Harapan baik terhadap anak itu memang harus ada. Upaya untuk membentuk anak yang baik itu juga wajib ada. Namun, jika semua dilihat sebagai sebuah kompetisi “(anak) siapa yang lebih baik”, perlukah?

Jika targetnya adalah untuk menjadi “the best of all, better than the rest”, itu kompetisi yang tiada akhir. Yakinlah, akan lelah sendiri. Anak lelah, orang tua lelah. Lelah badan karena dituntut dengan beban berlebih. Lelah hati karena kecewa yang menanti. Bukankah ada langit di atas langit? You will lose, once at least.

Jika targetnya adalah sekadar ingin mencicipi rasa kemenangan (lalu berbangga diri karena berhasil mengalahkan yang lain), itu masih mudah untuk dicapai. Lawan saja yang kemampuannya lebih rendah. Namun, buat apa berlomba dengan setting seperti itu?

Tunggu. Kita perlu kembali ke pertanyaan awal, “Apakah berkompetisi dengan yang lain itu memang perlu?”

Kadang, memang perlu, sih. Soalnya, tak jarang kekuatan super itu baru terpancing untuk keluar saat diri sudah hampir kalah di injury time. 😅 Anggaplah itu memang perlu. Silakan. Untuk diri sendiri saja. Jangan tuntut (memaksa) orang lain untuk berkompetisi. Apalagi anak sendiri–masih ada cara lain yang lebih bijak untuk mengeluarkan kekuatan super mereka.

 

Foto: adalomba.com