Anak Tidak Mau Makan Nasi Benarkah Anak Saya “bule” ?

oleh : dr. Zuhrah Taufiqa, M. Biomed

editor : Rahmah El Fauziah

Kata ‘bule’ dimaknai oleh kebanyakan masyarakat sebagai kecenderungan makan anak terhadap karbohidrat selain nasi, it’s ok. Namun, mari kita telusuri terlebih dahulu ketika awal pengenalan “makan” pada anak yakni di saat MP ASI.

Di awal mula pola makannya yakni ketika awal pemberian MP ASI, anak dianjurkan untuk dikenalkan dengan sumber pati/karbohidrat. Mengapa karbohidrat? Ya, karena karbohidrat merupakan sumber energi UTAMA anak dalam tumbuh dan berkembang. Protein dan lemak juga merupakan sumber energi. Namun, bukan yang utama karena proses metabolismenya lebih kompleks dalam proses menghasilkan energi. Adapun, sumber karbohidrat yang dianjurkan adalah, bahan alami yang mudah di dapat. Karena kita di Indonesia maka, sumber karbohidrat yang dianjurkan ya otomatis beras alias nasi. Dengan mudah didapatnya beras, otomatis harganya pun jauh lebih murah alias hemat dikantong. Ingat, salah satu prinsip dalam MP ASI adalah memberikan makanan yang alami, mudah di dapat dan murah agar, pemenuhan kebutuhan anak akan asupan makanan jauh lebih mudah.

Lalu, bagaimana dengan istilah ‘bule’ ini ? Sebenarnya, di awal MP ASI anak tidak akan bisa memilih makanan apa yang dia sukai. Ketika anak diberikan suatu makanan di awal MP ASI lalu ‘dilepeh’, nah bukan berarti anak tidak suka lho. Butuh ribuan kali agar anak ‘lengket’ dengan rasa suatu bahan makanan. Jadi, di masa MP ASI, sering lah memperkenalkan nasi sebagai bahan makanan pokok kita sebagai orang Indonesia.

Lalu bagaimana dengan anak yang di masa MP ASI nya tidak suka dengan nasi sebagai makanan pokok namun, di usia 3 tahun dst malah menunjukkan ‘mogok’ terhadap nasi lalu beralih ke sumber karbohidrat lain seperti roti, jagung, kentang dll?

Nah untuk hal ini, dari beberapa pasien yang saya temui saya coba menanyakan. Apakah sebelum peristiwa ‘mogok’ terhadap nasi itu ada suatu kejadian yang memicu anak untuk tidak menyukai nasi lagi? misalnya, pemaksaan pemberian makan kepada anak, atau pemberian alternatif jenis makanan selain nasi. Contoh, ketika jam makan lalu, anak tidak mau makan dan seketika itu anak ‘dipaksa’ untuk makan nasi, otomatis hal ini bisa menciptakan suatu trauma tersendiri bagi mereka. Atau sebab lain misalnya, ketika pada jam makan anak yang seharusnya mengonsumsi nasi beserta lauk, dan sayur dalam satu piring makanan namun, anak melakukan GTM (gerakan tutup mulut). Ketika ini, kita memberikan alternatif lain agar anak ‘mau’ tetap makan seperti memberikan roti, kentang, jagung, ‘oat’ dll. Dalam hal ini, kadang kita sebagai orang tua hanya sempat berfikir bahwa, yang penting ‘anak mau makan’ terserah apapun itu, bahkan termasuk memberikan ‘susu’ sebagai alternatif pengganti makan anak. Jika hal ini terjadi sesekali, tentu tidak masalah. Namun, jika setiap kali anak melancarkan ‘serangan GTM” atau ‘mogok’ makan, lalu memperoleh alternatif makanan lain maka, otomatis anak akan menganggap hal itu sebagai hal yang lumrah dan akhirnya menjadi kebiasaan yang membentuk perilaku.

Maka, tidak heran jika nanti anak terkesan ‘bule’.

Lalu, bagaimana solusinya?

Jika anak tidak mau makan nasi karena trauma, ya otomatis pendekatan yang dilakukan adalah melalui aspek psikologis itu sendiri. Pendekatan pada anak dalam pengenalan ‘kembali’ nasi sebagai sumber karbohidrat yang cukup ‘menyenangkan’ untuk dinikmati. Apakah diubah menjadi lontong, nasi goreng, bola-bola nasi, dan sebagainya. Hal ini bergantung pada kemampuan kita dalam menciptakan suasana yang menyenangkan ketika mencoba memberikan nasi serta tingkat kreatifitas dalam menciptakan berbagai model makanan berbahan utama nasi, lho.

Namun, bagaimana jika anak sudah terlanjur ‘terbiasa’ dengan alternatif bahan makanan lain selain nasi?

Untuk hal ini, mari kita coba pahami lebih dalam. Sebenarnya selain karena beras atau nasi adalah bahan alami dan mudah di dapat bagi kita di Indonesia, ada alasan lain mengapa nasi menjadi sumber UTAMA karbohidrat. Alasannya adalah, karena inilah makanan yang dikenal anak sejak masa kandungan. Dan, pengenalan rasa ini sudah dimulai sejak dia dalam kandungan. Kecuali, ibu semasa hamil sangat jarang sekali mengonsumsi nasi dan cenderung menggantikannya dengan bahan makanan alternatif selain nasi maka, boleh jadi, anak telah terbiasa dengan jenis bahan makanan tersebut. Oleh karena itu, pola makan ibu semasa hamil sangat berpengaruh lho.

Lalu, apa sih perbedaan nasi dengan sumber karbohidrat lainnya ?

Nasi, roti, ‘oat’ kentang dan jagung adalah sama-sama sumber karbohidrat. Namun ada perbedaan diantaranya adalah, nasi merupakan sumber karbohidrat dengan kandungan serat cukup rendah. Berbeda dengan gandum yang mengandung tinggi serat. Bagi anak terutama di bawah 2 tahun, konsumsi serat masih dibatasi. Karena tingginya kandungan serat bisa menimbulkan sembelit yang merupakan masalah pencernaan yang cukup mengganggu anak dan menyebabkan anak rewel. Tingginya serat juga menyebabkan menurunkan penyerapan lemak. Padahal, lemak merupakan penyusun sebanyak 60 % struktur otak anak. Selain itu, kandungan protein yang lebih tinggi pada gandum atau bahan makanan berbahan utama gandum seperti roti-rotian mampu memicu timbulnya alergi pada anak terutama anak dengan riwayat atopi (alergi). Bagi anak dengan riwayat ‘celiac disease’ hal ini juga bisa memperparah lho. Oleh karena itu, di awal pengenalan bahan makanan pokok saat MP ASI, nasi tetap lebih diutamakan.

Keberadaan bahan tambahan pangan lain dalam roti juga harus jadi pertimbangan lho. Ketika beras mengandung karbohidrat komplek sedangkan roti tidak hanya mengandung gandum melainkan juga gula sebagai sumber karbohidrat sederhana, lalu pengembang, pelembut, perasa dan sebagainya. Artinya, ketika anak mengonsumsi roti sebagai pengganti nasi, maka anak secara otomatis akan mengonsumsi bahan tambahan pangan (BTP) lain yang sebenarnya tidak diperlukan tubuh. Konsumsi ini dalam jangka panjang menurut beberapa penelitian terbukti bisa memicu adanya gangguan perilaku dan perhatian seperti autism, ADHD, dll di masa depan.

Lanjut tentang versi ‘bule’ ini. Lalu, jika anak saya ga mau nasi, diganti roti, ‘oat’, jagung atau kentang dll bolehkah?

Jawaban sebenarnya adalah BOLEH. SILAHKAN SAJA. Karena, siapalah saya yang berani ‘mengharamkan’ sesuatu. Saya berprinsip dengan mengacu pada al-qur’an tentang petunjuk memakan makanan yang halal dan thayyib (baik). Artinya, selama suatu bahan makanan itu halal dan baik untuk kesehatan maka, silahkan nikmati asal jangan berlebih-lebihan.

Namun, syarat dan ketentuan berlaku lho. Begini, mungkin suatu ketika anak tidak mau makan nasi. Namun itu tidak berarti selamanya anak tidak akan menyentuh nasi. Mulailah dengan membuat jadwal makan. Bagi sebagian orang, mengatur jadwal makan untuk anak ini terkadang dianggap hal remeh sehingga tak dihiraukan. Padahal, jadwal makan yang baik akan mengatur timbulnya sensasi lapar dan kenyang secara teratur pada anak. Pola makan ini juga yang akan mempertahankan metabolisme tubuh tetap terjaga dengan baik. Begitu banyak penyakit akibat pola makan yang tidak teratur diantaranya gastritis (maag/radang lambung).

Pengaturan pola makan sebaiknya sudah dimulai bahkan sejak pemberian ASI. Meski ASI disebut sesuka anak, namun dianjurkan per 3 jam. Begitu memasuki usia 6 bulan dimana anak sudah mengenal MP ASI, maka pengaturan jadwal ASI dan Makanan Pendamping ASI harus lebih baik agar kebutuhan nutrisi anak tercukupi. Jadi, ketika di jadwal makan pagi anak menolak makan nasi, coba tunggu sekitar 15 – 30 menit untuk melihat ada atau tidaknya sensasi lapar pada anak. Jangan terburu-buru memberi alternatif makanan lain. Normalnya, anak sehat yang lapar, akan mau makan apa yang disuguhkan. Terkecuali, anak memang dalam keadaan sakit sehingga mengganggu sensasi rasa anak. jika anak tetap tidak menyentuh makanan, silahkan berikan kentang atau ubi sebagai pendamping nasi sebagai sumber karbohidrat dalam satu menu. Lalu lihat reaksi anak. begitu juga pada jam makan siang dan makan malam. Ingat, jangan memaksa anak. Andai suatu ketika anak benar-benar tidak mau terhadap nasi, maka bisa diganti dengan bahan makanan lain seperti bihun, roti (sandwich), pasta dll. tetapi, sebaiknya ini tidak diberikan setiap hari dan setiap kali makan. Karena biasanya, anak memang bisa sesekali mengalami kebosanan terhadap menu, namun, kreatifitas kita lah yang diminta. Misal, dengan menjadikan nasi berupa lontong, bola-bola nasi, nasi goreng dll. Ketika hampir di setiap jadwal makan utama anak disuguhi sumber karbohidrat selain nasi, maka, wajar, anak bisa menjadi ‘bule’,

Lalu, salahkan jika anak saya ‘bule’ ?

TIDAK. TIDAK ADA YANG SALAH dengan ‘kebulean’ ini. Yang perlu diperhatikan dan jadi bahan pertimbangan selanjutnya adalah, bahwa kita tinggal di Indonesia. Ketika anak dibiasakan memakan selain nasi, berarti akan lebih sulit dan lebih mahal untuk menyediakan bahan ini di rumah. Dan jika bahan ini hanya tersedia dalam bentuk kemasan misalnya pasta, bihun, mie, ‘oat’ atau roti-rotian dan sebagainya, maka ingat, bahwa dalam bahan makanan kemasan terdapat Bahan Tambahan Pangan lain seperti pengawet, pengembang, pewarna, pelembut, penyedap, penambah rasa, dll (biasanya lebih dari 1 jenis) yang berdampak terhadap kesehatan anak di masa depan.

Selain itu, jangan lupa perhatikan juga variasi dalam 1 porsi makanan anak. Ketika dalam satu menu utama gizi seimbang, nasi adalah merupakan sumber karbohidrat, maka pada satu piring makan anak, harus didampingi oleh sumber protein dan lemak (nabati-hewani)  seperti ayam/daging/telur/ikan dan kacang-kacangan/tahu/tempe serta sumber vitamin-mineral yakni sayur dan buah. Artinya, ketika anak tidak makan nasi lalu diganti dengan kentang, roti, ‘oat’ dll maka anak tetap harus mengonsumsi sumber protein-lemak serta vitamin-mineral pada waktu yang bersamaan. Jangan sampai, tidak makan sepiring menu utama hanya diganti dengan roti/jagung/kentang goreng saja. Jadi, tetap harus POLA GIZI SEIMBANG.

Hal berikut yang perlu diperhatikan adalah porsi makan. Sepiring makan anak akan menjadi jumlah kalori yang akan menjadi sumber tenaga dan pertumbuhan anak setiap hari (porsi makan bisa dilihat pada beberapa resep di instagram saya drfiqa_mpasi). Ketika anak memiliki kecenderungan untuk makan dengan porsi kecil setiap kali jadwal makan, maka tingkatkan frekuensi makan anak. Mengapa? Tujuannya adalah agar kebutuhan nutrisi anak tetap terpenuhi. Porsi makan yang tepat akan membuat anak sehat dengan mencapai status gizi yang baik. Ujungnya adalah tumbuh kembang anak optimal.

Jika semua hal di atas terpenuhi, baik jenis, porsi atau pun frekuensi makan anak. Maka, tidak masalah apakah anak menjadi ‘bule’ atau ‘blasteran’ . Namun, jika istilah ‘bule’ ini hanya dianggap sebagai istilah ketika anak lebih menyukai bahan makanan selain nasi/beras, maka, tidak heran, status gizi anak tidak baik bahkan kurang gizi (malnutrisi) yang dikemudian hari akan menimbulkan masalah kesehatan seperti ‘stunting’ (pendek) atau bahkan obesitas akibat terlalu banyak mengonsumsi bahan makanan lain yang juga disertai kandungan kadar gula yang tinggi. (ref)