Potret Gizi Calon Penerus Bangsa

Oleh : dr. Zuhrah Taufiqa, M. Biomed

Editor : Rahmah El Fauziah

 ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّال

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Ar-Rad : 11)

Angka Kejadian Malnutrisi pada Balita di Indonesia

Masa balita (0- 59 bulan) merupakan periode emas tumbuh kembang fisik dan kecerdasan anak. Status gizi merupakan indikator pertumbuhan anak. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, terdapat sebanyak 13,8% balita gizi kurang, 3,9% balita gizi buruk, 19,3% balita pendek, 11,5% balita sangat pendek, serta 6,7% balita kurus dan 3,5% balita sangat kurus di Indonesia. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka ini masih tergolong tinggi. Artinya, permasalahan gizi balita di Indonesia merupakan persoalan serius yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan luas wilayah total 1.904.569 km2 dan dihuni oleh ± 255 juta penduduk merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Artinya, Indonesia sejatinya memiliki tingkat keanekaragaman sumber daya alam hayati yang tinggi. Berdasarkan Protokol Nagoya, semua “harta” kita ini mampu menjadi tulang punggung perkembangan ekonomi berkelanjutan (green economy).

Jika Indonesia sekaya ini, mengapa masih banyak ditemukan anak yang mengalami malnutrisi?

Banyak penelitian menunjukkan bahwa faktor penting kejadian malnutrisi pada anak adalah

gangguan asupan gizi yang diterima di masa 1000 hari pertama kehidupannya yakni sejak janin di dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun.

Status gizi ibu saat hamil turut menjadi penentu gizi anak di masa depan. Di tahun 2018, sekitar 11,15% wanita hamil di Indonesia mengalami masalah kurang energi kronis (KEK) dan 48,9% mengalami anemia. Saat anak lahir, pemberian ASI eksklusiv yakni pemberian ASI saja tanpa makanan lain selama 6 bulan pertama, juga menjadi penentu. Rendahnya angka cakupan ASI eksklusif (74,5%) dapat menurunkan sistem imunitas sehingga bayi rentan akan infeksi. Karena ASI merupakan cairan biologis tubuh yang memiliki komposisi zat-zat gizi ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Fase selanjutnya dalam periode emas ini adalah penyapihan. Meski anak telah memperoleh asupan yang baik di dalam kandungan dan ASI eksklusif saat lahir. Namun, penurunan berat badan anak juga dapat terjadi pada periode penyapihan yakni ketika anak berusia 6 bulan. Artinya, berbagai kesalahan dalam pemberian Makanan Pendamping ASI (MP ASI) turut menjadi penyebab kesakitan dan kematian pada balita. Pemberian MP ASI tidak tepat waktu (terlalu dini atau terlambat), kesalahan dalam pemilihan variasi bahan makanan bergizi dan tahapan pemberian tekstur makanan, serta pemaksaan dalam pemberian MP ASI yang berujung pada penolakan anak terhadap makanan (Gerakan Tutup Mulut/GTM) adalah beberapa poin penting yang merupakan bukti masih kurangnya pemahaman terhadap MP ASI.

Jadi, meskipun Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang cukup tinggi, bahkan berpotensi sebagai “green economy”, terbukti bahwa ternyata, ekonomi bukan satu-satunya penyebab timbulnya masalah gizi pada balita.

Lalu, mampukah kita menciptakan potret gizi yang lebih baik untuk anak kita?