Oleh: Dr. dr. Zuhrah Taufiqa, M.Biomed.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, sekitar 21,6% anak balita—setara dengan satu dari lima anak—masih mengalami stunting. Meskipun ada sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, upaya lebih lanjut tetap dibutuhkan untuk mencapai target penurunan angka stunting sebesar 14% tahun ini. Target tersebut menjadi penting dalam rangka mendukung tercapainya visi Indonesia Emas 2045. Data menunjukkan bahwa risiko stunting meningkat 1,6 kali pada anak berusia 6-11 bulan dibandingkan anak berusia 12-23 bulan, yang mencerminkan adanya kendala dalam pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang sesuai anjuran WHO.
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronis, infeksi yang berulang, serta kurangnya rangsangan psikososial. Berdasarkan kurva pertumbuhan dari WHO, seorang anak dikatakan stunting jika tinggi badannya berada di bawah -2 standar deviasi dari median populasi. Dampak dari stunting sangat serius, mempengaruhi kemampuan intelektual, produktivitas, serta meningkatkan risiko penyakit degeneratif di kemudian hari. Anak-anak yang mengalami stunting cenderung tertinggal dalam pendidikan, mengalami penurunan IQ hingga 10–15 poin, dan memiliki prestasi akademik yang lebih rendah. Stunting terjadi secara bertahap akibat kekurangan gizi yang berkepanjangan. Jika masalah gizi ini tidak diatasi, siklus stunting bisa terus berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, penanganan stunting memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan untuk memastikan anak-anak tumbuh dengan optimal.
Salah satu langkah penting untuk mencegah stunting adalah melalui peningkatan konsumsi pangan hewani. Penelitian menunjukkan adanya keterkaitan antara konsumsi pangan hewani, seperti telur, daging, ikan, unggas, serta susu dan produk olahannya, dengan penurunan risiko stunting. Protein hewani sangat penting bagi pertumbuhan karena mengandung asam amino esensial yang lebih lengkap daripada protein nabati. Sebagai contoh, telur merupakan sumber protein yang terjangkau dan kaya akan nutrisi seperti vitamin A, D, E, K, serta mineral penting seperti selenium dan zinc. Daging merah, terutama daging sapi, mengandung protein, zat besi, zinc, dan berbagai mineral penting lainnya yang mendukung pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak. Ikan, yang kaya akan omega-3 dan protein berkualitas tinggi, juga berperan penting dalam perkembangan otak dan menjaga kesehatan anak secara keseluruhan.
Berbagai studi juga menegaskan bahwa variasi konsumsi pangan hewani memberikan dampak yang lebih besar pada pertumbuhan anak dibandingkan dengan mengonsumsi satu jenis pangan saja. Semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi, semakin banyak zat gizi yang dapat terpenuhi untuk menunjang pertumbuhan optimal anak. Selain itu, variasi makanan juga meningkatkan diversitas mikroba usus, yang penting untuk kesehatan pencernaan dan kekebalan tubuh anak.
Namun, salah satu aspek penting yang sering kali terabaikan dalam penanganan stunting adalah peran pola makan ibu serta pengetahuan ibu tentang gizi dalam memengaruhi status gizi anak. Pola makan ibu selama kehamilan dan menyusui sangat mempengaruhi kondisi gizi bayi. Jika ibu mengalami kekurangan zat gizi selama masa kehamilan, janin bisa mengalami gangguan pertumbuhan yang berpotensi menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR), kondisi yang terkait dengan risiko stunting di masa mendatang. Kurangnya asupan nutrisi penting seperti zat besi, asam folat, atau protein pada ibu juga dapat berdampak buruk pada pertumbuhan bayi.
Selain itu, pengetahuan ibu tentang praktik pemberian MP-ASI yang tepat sangat berpengaruh terhadap pemilihan menu MP-ASI dan status gizi anak. Ibu yang memiliki pengetahuan memadai tentang gizi akan cenderung memilih bahan pangan yang lebih berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan gizi anak. Sebaliknya, ibu yang kurang teredukasi dalam hal ini sering memberikan MP-ASI yang tidak memadai, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Misalnya, pemberian MP-ASI yang terlalu cepat, terlambat, atau makanan yang kurang mengandung nutrisi dapat memperburuk kondisi gizi anak dan meningkatkan risiko stunting.
Masa pemberian MP-ASI pada anak usia 6–23 bulan adalah tahap yang sangat penting dalam memastikan anak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk tumbuh dengan optimal. Pada usia ini, kebutuhan energi dan gizi anak meningkat seiring dengan perkembangan fisik yang cepat. Ibu yang memiliki pemahaman baik tentang gizi dan cara pemberian MP-ASI yang benar akan lebih mungkin memberikan makanan yang mengandung protein hewani, serat, serta vitamin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anak. Sebaliknya, ibu dengan pengetahuan yang terbatas mungkin cenderung memberikan makanan yang tidak sesuai, sehingga berdampak pada status gizi dan risiko stunting anak.
Salah satu langkah konkret yang diambil pemerintah dalam penanganan stunting adalah mendorong peningkatan konsumsi protein hewani selama masa pemberian MP-ASI. Ini sejalan dengan pemahaman bahwa asupan protein hewani memiliki peran kunci dalam mendukung pertumbuhan anak yang optimal. Namun, data FAO tahun 2019 menunjukkan bahwa konsumsi telur, daging, susu, dan produk turunannya di Indonesia masih tergolong rendah secara global. Data Susenas 2022 juga mengungkapkan bahwa konsumsi protein hewani per kapita di Indonesia masih rendah, padahal negara ini memiliki potensi besar dalam sumber daya protein hewani.
Oleh karena itu, untuk mengurangi angka stunting secara efektif, selain meningkatkan akses terhadap pangan hewani, diperlukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat, terutama ibu, mengenai pentingnya nutrisi dalam pemberian MP-ASI. Dukungan bersama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi tentang pentingnya gizi yang baik dalam menunjang pertumbuhan anak.
Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, serta fokus pada peningkatan konsumsi protein hewani dan edukasi gizi yang tepat, Indonesia dapat secara signifikan menurunkan angka stunting, menciptakan generasi masa depan yang lebih sehat, cerdas, dan berdaya saing tinggi.
Leave A Comment