Permainan ini menawarkan hadiah yang didapat secara acak, seperti karakter langka atau item spesial. Hal ini memicu otak untuk terus bermain demi mendapatkan hadiah yang diinginkan. Mirip dengan konsep judi, sistem ini memanipulasi dopamine di otak anak, membuatnya terus merasa “penasaran” dan ingin mencoba lagi. Anak akan sulit berhenti karena selalu ada harapan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Banyak game gratis memiliki fitur pembelian di dalam aplikasi (in-app purchase). Biasanya, anak-anak diminta membeli koin atau item agar bisa melanjutkan permainan. Ini bisa membuat anak merasa frustrasi jika tidak bisa “menang” atau maju ke level berikutnya tanpa membeli sesuatu. Lama-kelamaan, mereka akan merasa bahwa kunci kesenangan dan kesuksesan dalam permainan adalah dengan uang, bukan dari usaha dan keterampilan.

Permainan yang tidak memiliki akhir yang jelas, seperti permainan membangun kota atau mengumpulkan item, membuat anak terus-menerus ingin bermain. Tidak ada batasan atau “garis finish” yang membuat mereka merasa sudah selesai. Hal ini membuat anak terus kembali ke permainan, menciptakan siklus tanpa henti yang berpotensi menjadi kecanduan.

Iklan yang muncul tiba-tiba saat permainan sedang berlangsung dapat mengganggu pengalaman anak. Sering kali, iklan tersebut mendorong anak untuk mengunduh permainan lain atau membeli sesuatu. Paparan iklan yang terus-menerus ini tidak hanya merusak konsentrasi, tetapi juga membuka pintu bagi anak untuk mencari permainan baru secara terus-menerus.

Permainan yang mengharuskan pemain kembali dalam waktu tertentu (misalnya, untuk memanen tanaman virtual atau mendapatkan hadiah harian) dapat menciptakan tekanan. Anak akan merasa harus terus memantau gadgetnya agar tidak “ketinggalan” atau merugi. Mekanisme ini menciptakan ketergantungan dan membuat anak sulit lepas dari gadget, bahkan di luar waktu bermain.

Leave A Comment